Jumat, 11 Februari 2011

Sekelumit Kisah Orang Eksil

Tahun 1965 Indonesia sedang mengalami prahara politik yang merenggut ribuan nyawa manusia. PKI dijadikan kambing hitam dan dicap melakukan sebuah kudeta. Orang-orang yang dianggap berafiliasi dengan PKI dan dianggap Soekarnois memiliki nasib tak menentu.

Sore itu dipinggir pantai di Colombo ( Sri Lanka saat ini ) nampak dua orang sedang bebicara dengan serius. Mereka berdua bukan merupakan orang asli Sri Lanka ataupun India walaupun salah satu dari mereka memiliki warna kulit yang hampir sama dengan penduduk sekitar. Mereka adalah M. Ali Chanafiah, duta besar Indonesia untuk Sri Lanka dan Karobin, duta besar Uni Soviet untuk Sri Lanka.

Ali Chanafiah merupakan orang yang berafiliasi terhadap PKI, mungkin jika dia pulang ke Indonesia penjara dan penyiksaan telah menantinya. Karena tak ingin mengambil resiko, akhirnya dia mencari suaka ke pemerintah Soviet. Di Colombo di mulai menimbang-nimbang senjakala hidupnya sebagai warga negara Indonesia yang terhormat dan memulai perjalanan hidupnya yang tak ia ketahui berakhir seperti apa.

Ali Chanafiah adalah satu dari ribuan orang eksil, yaitu orang yang ada dalam pembuangan atau pengasingan. Kebanyakan dari orang eksil itu merupakan intelektual yang dikirim keluar negri untuk kepentingan belajar ataupun diplomasi. Sebagai sebuah negara yang baru merdeka, Indonesia perlu mengejar ketertinggalannya. Indonesia memerlukan banyak intelektual untuk menyetarakan kekuatan ekonomi-politik-budaya dengan negara-negara berdaulat lainnya.

Namun siapa tahu arah sejarah di masa depan? Sebuah kudeta yang mengkambing-hitamkan PKI terjadi di akhir September 1965. Peta politik pun berubah. Soeharto naik kekuasaan. PKI dan semua yang berhubungan dengannya diberangus. Termasuk orang-orang yang tugas kenegaraan, belajar dan bekerja di luar negri yang dianggap berafiliasi dengan PKI atau dekat dengan ideologi soekarno. Harapan bisa berguna bagi bangsa pun pupus, keahlian yang mereka miliki pun harus dibuang jauh dari ingatan bangsa ini.

Karena mereka tak bisa berhubungan langsung mereka seakan berada dalam ruang sempit. Mereka tidak berada pada penjara riil yang mengurung mereka, namun mereka tidak bisa berhubungan dengan negara mereka sendiri. Sekalipun hidup di dunia dan negeri yang baru itu, jiwa mereka tetap berada di dunia dan negeri yang lama, yaitu Indonesia. Hal ini menciptakan suatu efek psikologis berupa tercerabut dari tanah asal dan tak pernah tertanam di tanah baru. Secara fisik mungkin mereka nampak sehat, namun secara batin mereka pasti mengalami sebuah siksaan yang lebih berat dari penjara itu sendiri.

Orang yang memiliki kecerdasaan itu terpaksa harus menerima pekerjaan apapun untuk bisa bertahan hidup. Menjadi opas kantor, membuka restoran, bekerja di pabrik sebagai buruh, dan kalau lebih beruntung mengajar di Universitas. Mereka mungkin tak bisa lagi menerapkan ilmu yang mereka miliki sebagaimana mestinya. Selain harus menerima pekerjaan apa adanya, mereka juga harus siap berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ketika mereka tak bisa mendapatkan suaka politik di sebuah negeri atau suaka politiknya dicabut, mereka harus mencari dan terus berjalan sampai ada yang menerima mereka.

Sebagai generasi muda, kita layak mempertanyakan kenapa bagian dari sejarah kebangsaan kita ini dihilangkan? Pada generasi yang lebih tua kami mempertanyakan persoalan ini. Mereka layak memberikan jawaban memadai kenapa hanya sedikit di antara kami yang mengerti sejarah yang telah dilenyapkan oleh rezim Orde Baru tersebut? Ataukah generasi yang lebih tua itu telah mengabaikan pesan Soekarno dalam pidatonya di akhir dekade 60-an: Jangan sekali-kali melupakan sejarah?!

0 komentar:

  ©Blogger Theme by dims dhif merapi 2011

Back to TOP