Senin, 12 Juli 2010

Lintas Agama dan Lintas Etnis


’’bhineka tunggal ika, berbeda namun tetap satu juga”

Hidup dalam negeri yang terdiri atas berbagai macam pulau ini membuat kita memiliki keberagaman dalam hal kesukuan, keagamaan dan kepercayaan, serta dari segi ciri fisik. Keberagaman sudah ada sejak dulu. Dahulu kala, banyak kerajaan yang maju dalam perdagangan, itu membuat banyak pedagang dari berbagai daerah datang dan singgah di wilayah nusantara. Ini membuat percampuran budaya, etnis dan suku semakin meningkat. Kemudian pada zaman kolonial kekuasaan dipegang oleh pemerintah kolonial, mereka melakukan semacam pengkotak-kotakan suku bangsa yang ada di Indonesia. Saat ini keberagaman semakin jelas terlihat pada penduduk Indonesia. Banyak sekali suku bangsa, agama dan aliran kepercayaan yang tumbuh berkembang.

Keberagaman tidak pernah bisa lepas dari kehidupan kita sehari-hari, sebagian dari kita ada yang menyadari itu dan ada pula yang tidak. Namun bagi yang menyadari pentingnya keberagaman, tidak banyak yang memperjuangkan, sebagian orang yang menyadari itu seringkali tak peduli. Beberapa kelompok masyarakat yang bertindak mengancam keberagaman pada saat ini malah bermunculan.

Pernah kita melihat peristiwa yang dapat mengancam keberagaman kita. Misalnya, beberapa bulan yang lalu ada semacam konferensi LGBT digagalkan oleh sekelompok orang yang berbendera salah satu oraganisasi masyarakat. Beberapa tahun yang lalu, juga terjadi pertikaian antar suku yang menimbulkan banyak korban jiwa. Itu hanya sebagian kecil saja kasus mengenai keberagaman yang ada di negeri ini. Dengan berbagai peristiwa itu, timbul pertanyaan di benak saya apakah itu bisa disebut masyarakat kita sudah menghargai keberagaman yang ada?

Keragaman di kalangan pelajar.

 ’’ Sebenarnya peraturan tertulis mengenai kewajiban memakai jilbab di sekolah saya tidak ada. Namun, ada semacam kontrol dari kakak angkatan yang seolah-olah menekan kami. Siswa-siswi non muslim merasa menjadi minoritas di sekolah kami. Ada semacam pengkotakan yang terjadi di antara kami dalam hal keagamaan.”

Kutipan di atas merupakan pembicaraan antara saya dengan salah satu siswi SMA Negeri yang ada di Yogyakarta. Di lingkungan sekolahnya setiap hari terlihat cenderung menerapkan salah satu pandangan dan tafsir agama tertentu. Bahkan, sejak masa orientasi sudah terlihat suasana yang menekankankan aturan-aturan agama tersebut. Misalnya, pemakaian jilbab menjadi seperti diwajibkan padahal tidak ada peraturantertulis tentang itu. Ketika dijumpai seorang siswi muslim yang tidak memakai jilbab, kakak kelas yang mengikuti organisasi keagamaan itu menegur atau menyindirnya. organisasi tersebut mendapat tempat cukup tinggi di sekolah. Hampir semua keputusan diadakan atau tidaknya sebuah acara harus mendapatkan persetujuan dari organisasi tersebut. Salah satu kriteria yang membuat acara itu bisa disetujui adalah kegiatan tersebut harus memisahkan posisi siswa dan siswinya.

Siswa-siswi non-muslim sering merasa tak nyaman dan terpinggirkan ketika belajar di kelas, guru yang mengikuti aliran keagamaan tertentu sering membeda-bedakan antara agama satu dengan yang lain dan mengagung-agungkan aliran keagamaannya. Itu terasa sangat mendiskriminasi. Pembicaraan yang terjadi beberapa waktu lalu itu menjawab rasa penasaran saya mengenai penggunaan jilbab di sekolah negeri. Saya jadi teringat peristiwa yang menimpa komunitas Coret saat mengadakan sebuah acara di salah satu sekolah negeri di Yogyakarta.

Ketika acara akan dimulai, ketua oraganisasi keagamaan sekolah tersebut menegaskan bahwa perempuan yang tidak berjilbab dilarang mengikuti acara tersebut. Saya tanya lebih jauh kenapa bisa seperti itu, mereka menjawab itu sudah menjadi kebijakan dari sekolah. Saya terkejut dengan suasana kehidupan sekolah negeri yang seperti itu. Padahal sekolah negeri merupakan ruang publik yang mestinya bisa diakses oleh semua kalangan dan tidak cenderung pada paham tertentu dalam membuat kebijakan.

Sebenarnya, pemakaian jilbab di sekolah atau di kalangan remaja merupakan hal yang wajar untuk kalangan muslim, tapi bagi yang ingin memakainya. Saya merasa bahwa memakai jilbab atau tidak itu merupakan hak masing-masing. Namun dalam kasus ini, saya melihat ada hal yang begitu berbeda. Sekolah yang mewajibkan siswinya untuk memakai jilbab di lingkungan sekolah sudah mendiskriminasi hak siswinya. Ini menunjukkan adanya keinginan untuk menempatkan satu aliran keagamaan di keseluruhan lingkungan sekolah.

Ketika kebijakan yang berdasar pada salah satu aliran agama tertentu ini terus diterapkan, apakah tidak semakin mendiskriminasi kelompok aliran agama yang lain?

Apakah tidak menyadari realitas keberagaman di negeri ini? Apakah tidak memikirkan kenyamanan belajar siswa-siswi? Dan inikah wajah keberagaman yang akan terus terjadi di sekolah negeri?

Lingkungan lintas agama dan etnis

Saya hidup di keluarga yang benar-benar menjunjung arti keberagaman. Ayah saya seniman, temannya banyak. Mereka sangat beragam, mulai dari ciri fisik sampai orientasi seksual. Mereka berasal dari berbagai kalangan, lintas agama serta lintas etnis. Ini menjadikan sayaaya sering bergaul dengan orang berlatar belakang yang berbeda dalam segala hal.

Saya dididik untuk menghargai setiap perbedaan.. Ketika masih duduk di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, saya sering diajak berkunjung ke, lingkungan gereja Katholik, ke rumah tokoh-tokoh aliran kepercayaan, serta dipertemukan dengan seorang yang pernah memeluk lima agama dan beberapa aliran kepercayaan, termasuk mengikuti ritual keagamaan yang lain. Dari pengalaman itu, saya secara tidak langsung mendapat pembelajaran mengenai pentingnya menghargai keberagaman.

Selain itu, orang tua saya memberikan kebebasan bagi saya untuk bergaul dengan siapa saja, dengan tetap bertanggungjawab. Ketika saya terlibat dalam pembuatan film Jalan Tika, saya bergaul dengan waria. Saya menceritakan pertemanan saya dengan para waria, orang tua saya tidak mempermasalahkannya

Saya merasa prihatin dengan tindakan-tindakan anarkis dari organisasi dan kelompok masyarakat yang selalu membesar-besarkan keberadaan mereka serta merasa sebagai yang paling benar. Seakan-akan mereka memiliki hak dan wewenang untuk mengatur kehidupan masyarakat Indonesia dalam berbagai aspek. Baik itu gaya hidup, kepercayaan, cara berpakaian, cara berinteraksi dan sebagainya. Bahkan, mereka merasa berhak menghakimi  kelompok lain sesat dan tidak pantas berada di Indonesia. Ini sudah sangat bertentangan dengan semboyan kita yang menjunjung tinggi perbedaan. Tindakan-tindakan anarkhis itu juga mengancam kehidupan keberagaman di negeri ini.

1 komentar:

Sidik nur Toha 29 Juli 2014 pukul 02.20  

Mas,kalau mau nonton Jalan Tika ada linknya ADA NDAK YA....

  ©Blogger Theme by dims dhif merapi 2011

Back to TOP