Selasa, 20 Juli 2010

Hilangnya Roh II

Semua orang membesarkan namamu dulu
sekarang mereka melupakanmu
roh yang ada dalam jiwa batu telah pudar
roh yang menaungi orang-orang tak ada lagi

roh itu hilang oleh diri mereka sendiri

Merapi, 19 Juli 2010

Waos Sedoyo,Baca Selengkapnya,Read More...

Jumat, 16 Juli 2010

Bertanda-tanda

Siang itu udara begitu sejuk, aku menikmatinya dengan duduk di halaman depan rumahku yang cukup rindang dengan beberapa jenis pohon.

" Emmm.... Nikmat sekali siang ini tak seperti hari-hari biasanya yang membuatku benar-benar tak nyaman hidup di kota besar seperti ini." Gumamku.

Hari-hari yang melelahkan sebelumnya serasa selesai semua disiang hari ini. Seakan hidupku hanya terjadi dalam satu hari ini saja. Tidak tahu kenapa tiba-tiba pikiranku lepas dari semua penat atau beban yang memberatkanku pada hari-hari sebelumnya ketika aku memandang sinar-sinar matahari yang menembus dedadunan di atasku. Angin semilir yang menerpaku membuat semakin aku ingin hidup seperti ini selamanya.

Tak terasa aku tertidur di situ hingga senja tiba, terdengar sayup sura azan maghrib kala itu yang membuatku terbangun dari mimpi-mimpiku di bawah pohon beringin itu. Aku bergegas masuk kedalam rumah sebelum ayahku memanggilku.

Malam itu ayahku mengajakku untuk menyaksikan pertunjukan musik di rumah seni milik teman ayahku yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku. ketikka dalam perjalana aku mencoba untuk bercerita secara mendetail mengenai mimpiku, karena ketika aku tidur di bawah pohon beringin tadi siang aku bermimpi yang menurtku cukup aneh. Jadi aku ingin bertanya pada ayahku yang mungkin mengetahui mimpi itu sebagai pertanda apa.

" Yah, aku tadi bermimpi cukup aneh." Kataku.

" Mimpi apa?" tanya ayahku.

" Jadi begini, ketika aku berjalan di tengah hutan di bukit dekat rumah nenek aku menemukan sebuah padang rumput yang tak terlalu luas. Di tengah padang rumput itu tumbuh pohon yang menurut aku umurnya sudah cukup tua. Di sebelah pohon itu ada sebuah gubug yang ditinggali oleh seorang yang sudah tua, jika aku perkirakan umurnya sudah lebih dari delapan puluh tahun yah. Ketika aku masuk kedalam gubug itu, aku di beri ceramah yang cukup panjang lebar mengenai kondisi sekarang ini yah. Ketika aku keluar dari gubug itu tiba-tiba hutan yang ada disekitar padang rumput itu menjadi kering semua yah, hanya pohon yang ada di samping gubug itu saja yang nampak masih segar dan hijau. Pak tua berkata kepadaku, bahwa aku harus mengingat semua pesan dari pak tua itu. Setelah pak tua berkata seperti itu tiba-tiba langit menjadi gelap dan gubug serta pohon yang tadi hanya tinggal satu itu semua berubah menjadi tanah tandus yang retak-retak. Begitu ceritanya." ceritaku kepada ayahku.

" Memangnya pak tua itu bicara apa saja ke kamu?" tanya ayahku lagi.

" Pada intinya dia hanya berpesan kepadaku untuk lebih memikirkan bagaimana kelangsungsan lingkungan sekitar kita yah." jawabku.

" Dari hal itu sebenarnya kamu bisa membaca apa itu tanda yang diberikan oleh tuhan, yang bertujuan menuntun kita untuk bersikap lebih bijak terhadap segala sesuatu. dari kata si pak tua itu pun harusnya kamu sudah mengerti apa arti dari semua itu." Kata ayahku.

" Begitu ya..." Sahutku.

Dari hal itu aku mulai belajar bagaimana mengenali pertanda yang ada. Tapi aku belum begitu paham dengan apa yang dimaksud pertanda dalam maksud yang sebenarnya, dan dalam pandangan kebudayaanku sendiri yang begitu percaya pada tanda-tanda. Mungkin bisa ku artikan bahwa itu ,merupakan sebuah peringatan, atau himabauan dari tuhan untuk kita, dengan cara menggunakan media-media yang mungkin kita tak tentu paham dengan itu.

Aku mulai berpikir kembali tentang mimpiku tadi, bagaimana aku bisa membaca pesan yang ingin disampaikan tuhan kepadaku melalui mimpi itu. Aku menerjemahkannya akan ada sebuah masa dimana semua titik hijau, seperti hutan, pdang rumput akan mengalami sebuah fase dimana titik hijau tersebut akan rusak parah, dan hanya tersisa sebagian kecil saja.

Tapi aku juga tahu, bagaimana arti sebenarnya dari mimpiku itu dan mungkin juga bisa itu hanya bunga tidur seperti banyak orang katakan. Namun aku tak ingin membaca itu sebagai sebuha mimpi biasa namun sebagai sebuah pertanda dari tuhan.

Waos Sedoyo,Baca Selengkapnya,Read More...

Senandung Sunyi

semburat merah memancar dari dalam bumi
menenggelamkan hitamnya malam sekitar kala itu
para roh berpijak pada batu suci
iblis bernyanyi dalam api yang membara

nyanyian sunyi menenggelamkan api air batu dan angin dalam keheningan malam

semua berhenti

api yang menyembur dan membawa nyanyian para iblis menjadi beku

roh suci terpaku mendengar nyanyian sunyi

Waos Sedoyo,Baca Selengkapnya,Read More...

Senin, 12 Juli 2010

Lintas Agama dan Lintas Etnis


’’bhineka tunggal ika, berbeda namun tetap satu juga”

Hidup dalam negeri yang terdiri atas berbagai macam pulau ini membuat kita memiliki keberagaman dalam hal kesukuan, keagamaan dan kepercayaan, serta dari segi ciri fisik. Keberagaman sudah ada sejak dulu. Dahulu kala, banyak kerajaan yang maju dalam perdagangan, itu membuat banyak pedagang dari berbagai daerah datang dan singgah di wilayah nusantara. Ini membuat percampuran budaya, etnis dan suku semakin meningkat. Kemudian pada zaman kolonial kekuasaan dipegang oleh pemerintah kolonial, mereka melakukan semacam pengkotak-kotakan suku bangsa yang ada di Indonesia. Saat ini keberagaman semakin jelas terlihat pada penduduk Indonesia. Banyak sekali suku bangsa, agama dan aliran kepercayaan yang tumbuh berkembang.

Keberagaman tidak pernah bisa lepas dari kehidupan kita sehari-hari, sebagian dari kita ada yang menyadari itu dan ada pula yang tidak. Namun bagi yang menyadari pentingnya keberagaman, tidak banyak yang memperjuangkan, sebagian orang yang menyadari itu seringkali tak peduli. Beberapa kelompok masyarakat yang bertindak mengancam keberagaman pada saat ini malah bermunculan.

Pernah kita melihat peristiwa yang dapat mengancam keberagaman kita. Misalnya, beberapa bulan yang lalu ada semacam konferensi LGBT digagalkan oleh sekelompok orang yang berbendera salah satu oraganisasi masyarakat. Beberapa tahun yang lalu, juga terjadi pertikaian antar suku yang menimbulkan banyak korban jiwa. Itu hanya sebagian kecil saja kasus mengenai keberagaman yang ada di negeri ini. Dengan berbagai peristiwa itu, timbul pertanyaan di benak saya apakah itu bisa disebut masyarakat kita sudah menghargai keberagaman yang ada?

Keragaman di kalangan pelajar.

 ’’ Sebenarnya peraturan tertulis mengenai kewajiban memakai jilbab di sekolah saya tidak ada. Namun, ada semacam kontrol dari kakak angkatan yang seolah-olah menekan kami. Siswa-siswi non muslim merasa menjadi minoritas di sekolah kami. Ada semacam pengkotakan yang terjadi di antara kami dalam hal keagamaan.”

Kutipan di atas merupakan pembicaraan antara saya dengan salah satu siswi SMA Negeri yang ada di Yogyakarta. Di lingkungan sekolahnya setiap hari terlihat cenderung menerapkan salah satu pandangan dan tafsir agama tertentu. Bahkan, sejak masa orientasi sudah terlihat suasana yang menekankankan aturan-aturan agama tersebut. Misalnya, pemakaian jilbab menjadi seperti diwajibkan padahal tidak ada peraturantertulis tentang itu. Ketika dijumpai seorang siswi muslim yang tidak memakai jilbab, kakak kelas yang mengikuti organisasi keagamaan itu menegur atau menyindirnya. organisasi tersebut mendapat tempat cukup tinggi di sekolah. Hampir semua keputusan diadakan atau tidaknya sebuah acara harus mendapatkan persetujuan dari organisasi tersebut. Salah satu kriteria yang membuat acara itu bisa disetujui adalah kegiatan tersebut harus memisahkan posisi siswa dan siswinya.

Siswa-siswi non-muslim sering merasa tak nyaman dan terpinggirkan ketika belajar di kelas, guru yang mengikuti aliran keagamaan tertentu sering membeda-bedakan antara agama satu dengan yang lain dan mengagung-agungkan aliran keagamaannya. Itu terasa sangat mendiskriminasi. Pembicaraan yang terjadi beberapa waktu lalu itu menjawab rasa penasaran saya mengenai penggunaan jilbab di sekolah negeri. Saya jadi teringat peristiwa yang menimpa komunitas Coret saat mengadakan sebuah acara di salah satu sekolah negeri di Yogyakarta.

Ketika acara akan dimulai, ketua oraganisasi keagamaan sekolah tersebut menegaskan bahwa perempuan yang tidak berjilbab dilarang mengikuti acara tersebut. Saya tanya lebih jauh kenapa bisa seperti itu, mereka menjawab itu sudah menjadi kebijakan dari sekolah. Saya terkejut dengan suasana kehidupan sekolah negeri yang seperti itu. Padahal sekolah negeri merupakan ruang publik yang mestinya bisa diakses oleh semua kalangan dan tidak cenderung pada paham tertentu dalam membuat kebijakan.

Sebenarnya, pemakaian jilbab di sekolah atau di kalangan remaja merupakan hal yang wajar untuk kalangan muslim, tapi bagi yang ingin memakainya. Saya merasa bahwa memakai jilbab atau tidak itu merupakan hak masing-masing. Namun dalam kasus ini, saya melihat ada hal yang begitu berbeda. Sekolah yang mewajibkan siswinya untuk memakai jilbab di lingkungan sekolah sudah mendiskriminasi hak siswinya. Ini menunjukkan adanya keinginan untuk menempatkan satu aliran keagamaan di keseluruhan lingkungan sekolah.

Ketika kebijakan yang berdasar pada salah satu aliran agama tertentu ini terus diterapkan, apakah tidak semakin mendiskriminasi kelompok aliran agama yang lain?

Apakah tidak menyadari realitas keberagaman di negeri ini? Apakah tidak memikirkan kenyamanan belajar siswa-siswi? Dan inikah wajah keberagaman yang akan terus terjadi di sekolah negeri?

Lingkungan lintas agama dan etnis

Saya hidup di keluarga yang benar-benar menjunjung arti keberagaman. Ayah saya seniman, temannya banyak. Mereka sangat beragam, mulai dari ciri fisik sampai orientasi seksual. Mereka berasal dari berbagai kalangan, lintas agama serta lintas etnis. Ini menjadikan sayaaya sering bergaul dengan orang berlatar belakang yang berbeda dalam segala hal.

Saya dididik untuk menghargai setiap perbedaan.. Ketika masih duduk di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, saya sering diajak berkunjung ke, lingkungan gereja Katholik, ke rumah tokoh-tokoh aliran kepercayaan, serta dipertemukan dengan seorang yang pernah memeluk lima agama dan beberapa aliran kepercayaan, termasuk mengikuti ritual keagamaan yang lain. Dari pengalaman itu, saya secara tidak langsung mendapat pembelajaran mengenai pentingnya menghargai keberagaman.

Selain itu, orang tua saya memberikan kebebasan bagi saya untuk bergaul dengan siapa saja, dengan tetap bertanggungjawab. Ketika saya terlibat dalam pembuatan film Jalan Tika, saya bergaul dengan waria. Saya menceritakan pertemanan saya dengan para waria, orang tua saya tidak mempermasalahkannya

Saya merasa prihatin dengan tindakan-tindakan anarkis dari organisasi dan kelompok masyarakat yang selalu membesar-besarkan keberadaan mereka serta merasa sebagai yang paling benar. Seakan-akan mereka memiliki hak dan wewenang untuk mengatur kehidupan masyarakat Indonesia dalam berbagai aspek. Baik itu gaya hidup, kepercayaan, cara berpakaian, cara berinteraksi dan sebagainya. Bahkan, mereka merasa berhak menghakimi  kelompok lain sesat dan tidak pantas berada di Indonesia. Ini sudah sangat bertentangan dengan semboyan kita yang menjunjung tinggi perbedaan. Tindakan-tindakan anarkhis itu juga mengancam kehidupan keberagaman di negeri ini.

Waos Sedoyo,Baca Selengkapnya,Read More...

Sabtu, 10 Juli 2010

hilangnya roh I

kata orang kau tertidur disisi lain
kata orang pula kau membuat sebuah mahakarya
mahakarya yang memiliki roh dan jiwa abadi
jiwa serta roh mereka yang mengabdi untuknya
tapi jiwa dan roh itu telah mati
karena bukan sebuah pengabdian yang sekarang ada
hanyalah pemanfaatan yang terjadi untuk mahakaryamu
bukan sebuah pengabdian untuk tetap menghargai keberadaannya saat ini

Merapi, 04 juli 2010

Waos Sedoyo,Baca Selengkapnya,Read More...

  ©Blogger Theme by dims dhif merapi 2011

Back to TOP